music

Monday, July 4, 2011

Khilafah Islam : Antara Cita-Cita Dan Fakta


 Oleh: Asrir Sutanmaradjo

Sepekan ini, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mengadakan acara persidangan Rajab di berbagai kota. Namun satu yang pasti, acara itu adalah sebuah kempen memperjuangkan tegaknya khilafah Islam, sebuah cita-cita yang menarik.

Sebelum ini, dalam sebuah kesempatan, juru bicara HTI, M Ismail Yusanto mengatakan alasannya kempen seperti ini, yakni; berusaha keras menegakkan kembali institusi pelaksana syari’ah Islam yakni Khilafah islamiyah, tanpa perang (fisik).

Wacana penegakan Khilafah Islamiyah telah berlangsung lama dan cukup sengit. Bagi kalangan HTI, sebagaimana tercermin dengan tulisan Mujianto di Media Ummat, Edisi 59, 20 Mei-2 Juni 2011, berjudul “Perlawanan Tak Kenal Padam”, tegaknya khilafah adalah janji Allah swt dan RasulNya, serta merupakan keniscayaan faktual.
Sementara pihak lain menyatakan bahwa al-Quran dan Sunnah tidak pernah berbicara tentang Negara Islam dan khilafah.

Sesungguhnya, penerapan syari’at adalah suatu hal. Dan penegakkan khilafah adalah suatu hal lain. Tak pernah ada kesemaan persepsi, pemahaman terhadap kedua hal tersebut. Ada yang setuju, mendukung, dan ada pula yang menolak, menantang. Selalu saja ada yang menolak, menantang formalisasi syari’at Islam, terutama dari para pendukung sinkretisme (talbis), sekularisme, pluralism dan liberalism (SePilis).

Pada tahun 40-an, Haji Agus Salim dalam Majalah Pedoman Masyarakat telah menolak, isu penegakkan kembali Khilafah Islamiyah. Kala itu, Agus Salim menulis tentang kedudukan Khalifah di dalam Islam. Bagi Haji Agus Salim, berdasarkan data historis mengungkapkan, kekuasaan kekhalifahan itu berdasarkan kekuatan senjata. Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib tak disepakati oleh seluruh umat Islam. Tak ada hubungan yang tegas antarra agama dengan urusan khalifah (negara). Menurutnya, kekhalifahan itu sudah berakhir.

Unsur Kekhilafahan terdiri dari piranti lunak (software) berupa Quran dan Sunnah Rasulullah saw, serta piranti keras (hardware) berupa Khalifah dan aparat Kekhalifahan. Meskipun sama-sama berpegang merujuk, mengacu pada al-Quran dan Sunnah, namun tetap saja muncul perbedaan pemahaman, persepsi. Sengketa antara kelompok Ali dan kelompok Mu’awiyah, antara firqah-firqah, antara madzhab-madzhab, antara aliran-aliran mengindikasikan bahwa unsur piranti keras dalam kekhilafahan tak pernah solid dan selalu terjadi perbedaan. Dengan kata lain, bahwa khilafah dalam perjalanan sejarahnya tak pernah memberikan jaminan sebagai satu-satunya solusi, sistem terbaik. Namun begitu, dari sudut pandang cita (idea), khilafah tetap saja sebagai solusi, sistem yang paling ideal, meskipun dari sudut faktual (aplikasi, implementasi, penerapan) tetap saja memunculkan pertanyaan.

Berbagai macam teori, gagasan, konsep telah diusung untuk mengembalikan kejayaan Khilafah yang diruntuhkan oleh konspirasi lawan pada 8 Maret 1924, namun impian hanya tinggal tetap jadi impian, dambaan.

Khilafah vs Khilafiyah

Seperti kita saksikan, keadaan umat Islam saat ini ibarat “buih” yang sangat memprihatinkan. Umat seolah tertidur nyenyak. Masih belum bangun dari tidur panjangnya. Semua sistem yang mengatur umat Islam secara umum dzalim, tidak memiliki visi dan misi positif yang menguntungkan Islam. Hanya menjalankan keputusan musuh dan menjadi hamba lawan.

Para pemimpin telah merampas hak-hak rakyat dan bekerjasama dengan
pihak asing untuk menguras kekayaan negeri mereka.

Sayangnya, majoriti umat ini tak memahami, tak menyadari masalah yang menimpa mereka. Diperlukan dakwah yang dapat dicerna akal dengan hikmah untuk menyadarkan umat, bahwa aset-asetnya telah dijajah dan dieksploitasi oleh negara-negara imperialis Barat dengan Amerika Serikat sebagai pemimpinnya. Umat perlu disadarkan, bahwa semenjak dua abad silam, kekayaan umat dirampas musuh, kehormatannya dilecehkan, kemerdekaannya dikekang. Umat perlu disadarkan agar tak memiliki jalan kompromi dengan keadaan, agar tak mendekati dan menjilat penguasa, agar tak berkompromi dalam masalah akidah, agar tak memilih jalan demokrasi sekuler, agar tak bermesaan dengan musuh demi imbalan duniawi. (Fahmi Suwaidi : ”Strategi Aqaidah Mejebak Amerika”, 2008:105-107).

Genarasi seperti “buih” seperti ini memerlukan pembinaan, penggembelengan secara serius melalui jama’ah d dalam masjid. Inilah yang dipesankan, diserukan olah Khalifah Abu Bakar Shiddiq: ”Senantiasa kumpul di Masjid. Mencari petunjuk dari Qur:an. Menta’ati disiplin.”

Nah, pertanyaannya, apakah semua ini selesai dalam sekejab dengan adanya Khilafah Islamiyah?

Dalam bukunya “Islam dan Khilafah”, Dr Muhammad Dhyiya’ad-Din ar-Rais (Guru Besar Sejarah Islam di Universiti Kairo), mengajukan gagasan lembaga Persekutuan Negara-Negara Muslim sebagai bentuk (model) kekhilafahan yang sesuai dengan masa kini.

Kekhilafahan pada masa modern ini haruslan memiliki bentuk yang
dinamis dan seirama dengan kemajuan, baik politik maupun kosntitusional
yang muncul di masa kini. Bentuk kekhilafahan modern tidak terpusat
pada satu tangan, melainkan berada dalam suatu sistem persatuan,
demokratis, bercorak musyawarah dan persekutuan.

Para pejuang Islam hingga lahirnya HTI, boleh diibaratkan Tim Kesebelasan Sepakbola. Semua punya keinginan untuk tegaknya kembali syari’at Islam (HTI menyebutnya khilafah Islamiyah). Hanya saja, gagasan seperti itu akan sia-sia tanpa makna tanpa dibareng dengan perangakat pendidikan di berbagai bidang dan berbagai level.

Sama halnya, ingin mempopulerkan konsep perbankan syariah, di tengah negara dan masyarakat yang masih terkagum-kagum dengan bank konvesional. Karena itulah cukup lama Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan sabar kapan harus mengeluarkan fatwa haram bunga bank.
Selama masyarakat –khususnya para pakar ekonominya masih tergila-gila sistem kewangan ribawi—sia-sia rasanya masyarakat dan publik diajak kembali ke perbankan syariah. Di sinilah letak penting pendidikan.

Sama hal nya sekarang ini. Di mana masyarakat belum paham membedakan antara khilafiyah (masalah yang berhubungan dengan perbedaan pendapat) dan khilafah (persatuan Islam di bawah satu orang pemimpin berdasarkan syariat, red), maka penegakan Khilafah Islamiyah sesungguhnya masih butuh nafas panjang, bahkan bisa ratusan tahun.

Fakta menunjukkan, bahwa akibat pendidikan dan ketidakpaman pada Islam, kondisi umat Islam kini belum siap dengan Daulah Islamiyah dan Khilafah. Seorang pejabat bahkan tak mampu membedakan antara Negara Islam dengan Syariat Islam. Fenomena seperti ini, sesungguhnya berada di semua lini.

Karena itu, keinginan penegakan Khilafah Islamiyah hanya menjadi sia-sia selama umat ini belum dibangunkan dari tidur panjangnya dan selama umat ini belum disadarkan akan derita yang menimanya.

Penegakan Khilafah Islamiyah tak cukup hanya berteriak di jalanan dan di shoot media. Lantas siapa yang dan “menggarap” (mendakwahi, red) para politisi, para jenderal, hakim-hakim, pengacara?

Siapa pula yang akan “menggarap” budayawan LSM dan pengamat agama?
Karena itu, harusnya saat ini adalah saat melakukan pendidikan. Bahkan disiapkan semenjak dini, hingga kelak mereka akan menjadi para jenderal, pakar, hakim dll. Tanpa melakukan itu, maka, kaum "buta Islam" itu lah yang kelak yang akan menjadi penghalang.

Selain itu, di antara kaum Muslim harus ada saling kerjasama. Harus ada kesediaan untuk berbagai “bermain” bola. Siapa yang akan berada di barisan pertahanan, siapa pula yang akan berperanan sebagai gelandang, back dan penjaga gawanya. Satu sama lain harus ada kesediaan saling berbagi bola di bawah komando seorang kapten, bukan jalan sendiri-sendiri seperti saat ini.


Dalam khilafah tak ada terminologi asing dan pribumi. Bahkan istilah asing adalah asing dalam khilafah. Yang ada hanyalah istilah lawan dan kawan, Islam atau Kafir. Rasa-rasanya tak ada salahnya jika kita belajar dari lawan dan dari musuh. Bagaimana strategi, taktik, teknik perjuangan Zionis Yahudi sampai berhasil mempengaruhi Amerika, Inggeris, Rusia, Perancis, sampai berhasil mendirikan Negara Israel yang tangguh.*
Penulis pemerhati masalah keislaman, tinggal di Bekasi
http://hidayatullah.com/read/17792/01/07/2011/khilafah-islam:-antara-cita-cita-dan-fakta.html

No comments: